简体中文
繁體中文
English
Pусский
日本語
ภาษาไทย
Tiếng Việt
Bahasa Indonesia
Español
हिन्दी
Filippiiniläinen
Français
Deutsch
Português
Türkçe
한국어
العربية
Ikhtisar:Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020 menyebutkan bahwa pengelolaan utang pemerintah telah melampaui batas. Hal tersebut terlihat dari beberapa indikator.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020 menyebutkan bahwa pengelolaan utang pemerintah telah melampaui batas. Hal tersebut terlihat dari beberapa indikator.
Dalam hal ini, BKP mengacu pada panduan Organisasi Internasional Lembaga Audit Tertinggi atau INTOSAI yang menerapkan tiga indikator utama pengelolaan utang sebagaimana diatur dalam GUID 250.
Pertama, indikator keuangan terhadap risiko pasar dan risiko kredit. Dalam temuan BPK, risiko suku bunga atau variable rate debt proportion mengalami flukluasi pada tahun lalu 2020 hingga 14,17%. Tertinggi sejak tahun 2015 lalu.
BPK menyebut semakin tinggi risiko suku bunga, maka semakin tinggi pula kerentanan utang pemerintah terhadap flukluasi suku bunga mengambang. Pencapaian tersebut seiring dengan besarnya penerbitan surat berharga negara (SBN) di 2020 yang bertujuan untuk menanggulangi dampak pandemi virus corona.
Di samping risiko suku bunga, terdapat risiko nilai tukar rupiah yang menyentuh 33,53% di tahun lalu. Angka tersebut mengindikasikan perbaikan sejak tahun 2011 lalu. BKP mengklaim posisi risiko nilai tukar rupiah menandakan pengelolaan utang pemerintah telah dilakukan secara konsisten dalam mengurangi ketergantungan atas utang redominasi valuta asing.
Selain itu, rata-rata maturitas utang atau average time to maturity (ATM) menunjukkan preferensi pemerintah sebagai pengelola utang dalam mengatur risiko refinancing. Sedangkan peringkat kredit (credit rating) pada tahun lalu dapat memberikan wawasan pada investor tentang tingkat risiko yang terkait dengan investasi utang di negara tersebut.
Kedua, kerentanan utang terhadap perekonomian misalnya dilihat dari debt service to revenue atau perbandingan biaya pokok utang ditambah pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara mengalami kenaikan secara konsisten sejak tahun 2013. Puncaknya terjadi pada tahun 2020 yaitu sebesar 46,77%.
Padahal, threshold atau ambang batas yang dinyatakan dalam GUID 5250 adalah sebesar 25%-35% berdasarkan IMF dan sebesar 28%-63% berdasarkan IDR.
“Untuk mengendalikan risiko kerentanan utang tersebut, Pemerintah perlu mengendalikan pembayaran cicilan pokok dan bunga dengan pengendalian utang yang hati-hati atau berupaya meningkatkan penerimaan negara melalui reformasi di bidang perpajakan,” tulis BKP dalam LKPP 2020.
Kontan
Disclaimer:
Pandangan dalam artikel ini hanya mewakili pandangan pribadi penulis dan bukan merupakan saran investasi untuk platform ini. Platform ini tidak menjamin keakuratan, kelengkapan dan ketepatan waktu informasi artikel, juga tidak bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh penggunaan atau kepercayaan informasi artikel.
Indonesia berpotensi cetak surplus neraca perdagangan terbesar tahun ini. Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan hal ini bisa dicapai Indonesia jika tren surplus terjaga hingga triwulan IV-2021. “Jika surplus perdagangan terus konsisten pada triwulan IV 2021, maka tahun ini Indonesia akan mendapatkan surplus terbesar pertama kali dalam sejarah. Sepanjang Januari hingga Oktober 2021 surplus perdagangan sudah mencapai USD30,81 miliar,” kata Mendag, Rabu (17/11/2021). Diketahui, neraca perdaganga
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) terus berupaya mendorong pasar rakyat untuk tetap beroperasi, khususnya di masa pandemi Covid-19. Salah satunya, melalui program Digitalisasi Pasar Rakyat yang diinisiasi Kementerian Perdagangan.
PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) secara resmi meluncurkan inisiatif baru modul e-voting dengan fitur live streaming atau kehadiran secara daring.
Kepala Ekonom Bank Dunia Kawasan Asia Timur dan Pasifik, Aaditya Mattoo, memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mendekati angka 5% pada 2022 mendatang meskipun sempat mengalami tekanan akibat Covid-19 pada 2020 dan 2021.